Di Bawah Rerimbunan Pohon

Matahari cerah. Suasana pagi menjelang siang yang sejuk dan tenang. Di sebuah panggok sederhana di depan rumah, aku sedikit bersantai ditemani si mungil ‘Aisyah dan kakaknya Umar. Menikmati angin sepoi-sepoi di bawah rerimbunan pohon rambutan yang buahnya sebentar lagi masak. Umar hari ini libur karena sekolahnya sedang dipakai untuk ujian nasional. Sementara ‘Aisyah yang masih berumur empat tahun terlihat senang sekali karena ayahnya juga libur bekerja. Senyum yang menawan dengan lesung di pipinya selalu membuatku tak pernah ingin jauh darinya.

“Ayo, Umar, ‘Aisyah, sudah sampai mana hafalannya sama Ummi?” tanyaku memecah keheningan.
“Baru mau masuk juz 28 Bi, kemarin terakhir setor hafalan surat Al Mulk ke Ummi,” sahut ‘Aisyah.
“Kalau Umar?”
“Sama Bi, sampai surat Al Mulk juga, cuma belum sempet setor ke Ummi kemarin, banyak PR di sekolah,” ujar Umar.
‘Aisyah memang terpaut dua tahun dari kakaknya, tapi soal kemampuan hafalannya dia lebih baik. Meski mulainya menghafalnya tidak berbarengan, tapi hingga kini jumlah hafalannya hampir sama.
“Ya udah, yuk bareng Abi kita muroja’ah lagi surat Al Mulk,” tawarku.
Mereka berdua manggut-manggut.
Continue reading

Capolista Sang Serigala

Mungkin ini minggu yang luar biasa bagi mereka para Romanisti, para fans klub asal ibukota, Associazone Sportiva Roma.  Euforia minggu-minggu sebelumnya ternyata masih terus berlanjut hingga pagelaran Liga Serie-A giornata kedelapan. Tim berjuluk Il Giallorossi atau tim Kuning-Merah ini mampu mempertahankan winning streak mereka hingga yang kedelapan di awal musim. Start yang sempurna. Bahkan tim besar macam Juventus FC, AC Milan, atau FC Internazionale Milano pun tak mampu melakukannya di beberapa musim belakangan.

Adalah SSC Napoli yang kali ini menjadi korbannya. Bermain di kandang sendiri memang membuat Il Lupi atau tim serigala ini lebih diuntungkan. Para ultras Roma yang memenuhi tribun curva sud maupun fans setia yang memerah-kuningkan Stadion Olimpico siap mendukung tim kesayangan mereka habis-habisan. Pertandingan yang kick-off pukul 19.45 waktu setempat pun berlangsung ketat sejak awal pertandingan. Bukan hanya adu strategi dan unjuk kebolehan antar pemain, tak jarang pula terjadi adu fisik antara kedua tim. It’s really physical game, begitu kata salah satu komentator televisi.
Continue reading

Dongeng Fiktif

Baru saja saya membaca artikel menarik tentang kenakalan anak-anak kecil di negeri Yaman. Cerita ini bersumber dari pengalaman para pelajar Indonesia yang telah dan sedang mencari sejumput ilmu kepada para ulama di negerinya Abu Hurairah, sahabat nabi yang paling banyak meriwayatkan hadits.  Dari artikel itu, ada bagian yang begitu berkesan dan menarik bagi saya.

Fitrah mereka tak teracuni dengan dongeng fiktif penuh kebohongan. Dongeng khayalan yang hanya membuat anak-anak berandai-andai bisa menghilang,bisa terbang,dan bisa melakukan hal-hal ajaib lainnya. juga cerita-cerita yang tidak jelas kebenarannya. Mereka lebih tahu kisah tentang kepemimpinan Rasulullah, kisah tentang kesetiaan Shahabat Tholhah bin Ubaidillah yang rela menerima 90 tusukan dan sasaran panah demi melindungi Rosulullah pada waktu perang Uhud. Coba tanya ke mereka siapa panglima perang termuda?mereka akan menjawab Usamah bin Zaid,yang usianya belum melebihi dua puluh tahun pada waktu itu.juga mereka lebih suka kisah tentang kesabaran dan semangat ulama Baqi bin Makhlad yang rela menempuh perjalanan ke negeri Hijaz selama 20 tahun dengan berjalan kaki demi mencari ilmu syar’i.
Continue reading

Jazakillah Akhi…

Suatu waktu, ada salah seorang teman perempuan berkomentar di status saya,”jazakillah akhi…”. Glekk! Maksud lo?

Ya, perasaan saya waktu itu jadi campur aduk, antara sebel sama geli, antara pengen marah sama pemakluman. Meskipun saya belum selesai belajar bahasa Arab di Mustawa Tsani (jenjang kedua), meskipun juga belajar Durusul Lughoh jilid II belum tamat, tapi -wabillahi taufiq- saya sudah bisa membedakan mana ungkapan untuk laki-laki dan mana untuk perempuan. Ungkapan jazakillah adalah ungkapan terima kasih yang ditujukan untuk perempuan karena “ki” di sini adalah kata ganti (dhomir) untuk perempuan (muannats). Karena itu, waktu itu saya agak sedikit geli. Sedikit si, tapi banyak sebelnya, hehe…

Selang beberapa waktu, saya menemukan kata yang tidak pas di tempat lain. Sepertisyafakillah, yang merupakan do’a untuk orang yang sakit tapi ditujukan untuk seorang laki-laki. Glekk (lagi)! Bukannya malah sembuh, bisa-bisa orang itu jadi tambah panas dikatain seperti perempuan. Ada lagi yang lebih parah, pada ungkapan barakallah. Mungkin ingin menyamakan dengan ungkapan jazakillah dan syafakillah, maka ungkapan barakallahuntuk perempuan diganti menjadi barakillah, what??
Continue reading

Celana Cungklang

Tulisan kali ini tentang celana cungklang. Ahahai, apa pulak ini. Ya, saya hanya ingin share sedikit tentang masalah celana yang menjadi identitas para kalangan anti-mainstream ini.

Sebenarnya saya adalah pemakai celana cungklang yang kurang baik. Sejak pertama kali mengenal syariat ini sampai saat ini level ke-cungklang-an saya masih segitu-gitu aja. Padahal sudah hampir sekitar 10 tahun. Level saya masih sebatas tepat sesaat sangat dekat dengan mata kaki. Karena masing-masing celana tidak sama ukurannya, ya ada sedikit kurang lebihnya. Tapi masih di level itu-itu saja.

Celana cungklang atau cingkrang ini pertama kali saya kenal saat masih kelas 2 SMP. Saat itu saya sedang membaca buku kumpulan hadits, judulnya saya lupa, terbitan lama, kertasnya masih pakai yang berwarna coklat-coklat dengan cover cetakan khas tempo doeloe. Disitu ada hadits sebuah hadits yang artinya,

Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” (HR. Bukhari)

Nah loh! Waktu itu saya masih menjadi penuntut ilmu serabutan. Comot sana comot sini. Baca sana baca sini. Gak punya ustadz dan pembimbing. Maklum saja karena saya bukan santri pondok atau madrasah. Karena sepertinya konteks haditsnya tegas, maka saya mulai menafsirkan sendiri bahwasanya hal itu mutlak untuk semua pakaian, entah itu sarung atau celana, untuk semua keadaan, baik saat shalat maupun tidak. Alhasil, waktu itu saya sering melinting celana panjang saya.  Kecungklangan saya pun mendapat respon dari orang tua. “Mbok celonone ra sah dilinting-linting ngono..,” ujarnya.  Karena sering dibilang seperti itu, saya kemudian melintingnya kalau sudah tidak di rumah.
Continue reading